GANGGUAN SALURAN PENCERNAAN
Ditujukan untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Farmakologi Sistem Organ
Anisa Nur Suken (31114062)
Cuneng Nurwulan
Dewi (31114063)
Dede Rizwan (31114066)
Mohamad Ikhsan
Maulana (31114089)
Raja Ramadiansyah (31114096)
Siti Nur Anisa (31114106)
Kelompok 10
FARMASI 2 B
Program Studi S1-Farmasi
Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Bakti Tunas
Husada
Kota Tasikmalaya
2016
KATA PENGANTAR
Tiada untaian kata yang lebih indah selain mengucapkan
syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk, karena atas rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang Gangguan Saluran
Pencernaan. Makalah ini disusun
untuk memenuhi salah
satu tugas mata
kuliah Farmakologi Sistem Organ.
Penulis mengucapkan terimakasih
kepada pihak-pihak yang
telah membantu, mendukung,
mengarahkan, dan memberi
masukan kepada penulis
baik secara material,
moril, maupun spiritual.
Penulis menyadari
bahwa makalah ini
masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu
kritik dan saran
yang bersifat membangun
dari berbagai pihak
sangat penulis harapkan.
Penulis berharap, semoga
makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca
pada umumnya dan
bagi penulis pada
khususnya.
Tasikmalaya,
April 2016
Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar...............................................................................................
i
Daftar Isi.........................................................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN..............................................................................
1
A.
Latar Belakang.....................................................................................
1
B.
Rumusan Masalah.................................................................................
2
C.
Tujuan...................................................................................................
3
D.
Manfaat Makalah..................................................................................
3
BAB II ISI.......................................................................................................
4
A.
Pengertian.............................................................................................
4
B.
Organ-organ
Sistem Pencernaan...........................................................
4
C.
Gangguan pada
Saluran Pencernaan....................................................
8
BAB III PENUTUP.......................................................................................
43
A.
Kesimpulan...........................................................................................
43
B.
Saran.....................................................................................................
43
Daftar Pustaka
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Proses pencernaan merupakan suatu proses yang melibatkan organ-organ pencernaan dan kelenjar-kelenjar pencernaan. Antara proses dan
organ-organ serta kelenjarnya merupakan kesatuan system pencernaan. Sistem pencernaan berfungsi memecah bahan- bahan makanan menjadi sari-sari makanan yang siap diserap dalam tubuh.
Agar makanan yang kita makan dapat di serap di usus halus, maka makanan itu harus di ubah menjadi bentuk sederhana melalui proses pencernaan, zat makanan yang
mengalami proses pencernaan di dalam tubuh adalah karbohidrat, protein, dan lemak. Sedangkan unsur-unsur mineral, vitamin, dan air tidak mengalami
proses pencernaan. Proses pencernaan pada manusia dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu proses pencernaan secara mekanik dan kimiawi (enzimatis). Saat kalian mengunyah makanan seperti nasi, roti, umbi dan pisang berarti proses pencernaan mekanik (fisik) sedang berlangsung. Dan, proses pencernaan mekanik adalah proses perubahan makanan
dari bentuk besar atau kasar menjadi bentuk kecil atau halus. Pada manusia dan mamalia
umumnya proses pencernaan mekanik dilakukan dengan menggunakan gigi. Berarti,
proses pencernaan kimiawi pun sedang terjadi. Dan proses pencernaan kimiawi adalah
proses perubahan makanan dari zat yang kompleks menjadi zat-zat yang lebih sederhana
dengan menggunakan enzim. Enzim adalah zat kimia yang dihasilkan oleh tubuh
yang berfungsi mempercepat reaksi-reaksi kimia dalam tubuh.
Proses pencernaan makanan pada
manusia melibatkan alat-alat pencernaan makanan yang kita makan. Alat pencernaan
makanan dapat dibedakan atas saluran pencernaan dan kelenjar pencernaan.
Saluran pencernaan manusia memanjang
dari mulut sampai anus, terdiri dari mulut (kaumolis), kerongkongan (esofagus),
lambung (ventlikulus), usus halus (intestinum), usus besar (kolon), dan anus. Kelenjar
pencernaan menghasilkan enzim-enzim yang membantu proses pencernaan kimiawi.
Kelenjar air liur, kelenjar getah lambung, hati (hepar), dan pankreas.
Adapun gangguan pada sistem pencernaan seperti
gastritis, hepatitis, diare, konstipasi, apendiksitis dan maag.Masalah pencernaan dari kategori ringan hingga berat
harus segera diatasi jika tidak akan dapat memperburuk keadaan. Salah satu cara untuk mengatasi sistem pencernaan adalah dengan mengkonsumsi
obat, yang termasuk dalam kategori obat sistem pencernaan diantaranya Antasida,
H2 reseptor antagonis, Antiemetik, Antikolinergik, Hepatoprotektor, Antibiotik,
Proton pompa inhibitor, Prokinetik, Antidiare, Laksatif.
Seperti yang diketahui dalam pelayanan kesehatan, obat
merupakan komponen yang penting karena diperlukan dalam sebagian besar upaya
kesehatan baik untuk menghilangkan gejala/symptom dari suatu penyakit, obat
juga dapat mencegah penyakit bahkan obat juga dapat menyembuhkan penyakit. Tetapi
di lain pihak obat dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan apabila
penggunaannya tidak tepat. Oleh sebab itu, penyediaan informasi obat yang
benar, objektif dan lengkap akan sangat mendukung dalam pemberian pelayanan
kesehatan yang terbaik kepada masyarakat sehingga dapat meningkatkan
kemanfaatan dan keamanan penggunaan obat.
B.
Rumusan Masalah
1.
Organ apa saja yang berperan pada
sistem pencernaan?
2.
Gangguan apa saja yang terjadi pada
sistem pencernaan?
3.
Bagaimana mekanisme kerja obat
sistem pencernaan?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui organ-organ pada sistem pencernaan.
2. Untuk mengetahui gangguan yang terjadi pada sistem pencernaan.
3. Untuk mengetahui mekanisme kerja obat sistem pencernaan.
D.
Manfaat
1. Mahasiswa dapat mengetahui organ-organ pada sistem pencernaan.
2. Mahasiswa dapat mengetahui gangguan yang terjadi pada sistem pencernaan.
3. Mahasiswa dapat mengetahui mekanisme
kerja obat sistem pencernaan.
BAB II
ISI
A.
Pengertian
Sistem pencernaan (bahasa Inggris:
digestive system) adalah sistem organ
dalam hewan
multisel yang menerima makanan,
mencernanya menjadi energi
dan nutrien, serta mengeluarkan sisa proses tersebut melalui dubur. Sistem
pencernaan antara satu hewan dengan yang lainnya bisa sangat jauh berbeda.
Organ sistem pencernaan terdiri
atas :
1. Saluran
cerna, disebut juga saluran gastrointestinal (GI), merupakan saluran panjang
yang dilalui makanan/minuman dan terdiri atas mulut, faring, esofagus, usus
halus, lambug, usus besar, rektum, serta saluran anus.
2. Kelenjar
aksesori yang merupakan kelenjar yang melapisi organ yang terdiri atas 3 pasang
kelenjar ludah, pankreas, hati, dan saluran empedu.
B.
Organ-organ
Sistem Pencernaan
Organ pencernaan
makanan melalui proses mekanik dan kimiawi. Berikut macam-macam organ
pencernaan :
1.
Mulut
Mulut
adalah organ pencernaan yang pertama bertugas dalam proses pencernaan makanan.
Fungsi utama mulut adalah untuk menghancurkan makanan sehingga ukurannya cukup
lebih kecil untuk dapat ditelan ke dalam perut. Proses pencernaan dimulai sejak
makanan masuk ke dalam mulut. Di dalam mulut terdapat alat-alat yang membantu
dalam proses pencernaan. Bagian alat-alat pencernaan dimulut adalah gigi,
lidah, dan kelenjar ludah (air liur). Di dalam rongga mulut terjadi proses
pencernaan makanan secara mekanik dan kimiawi.
2.
Kerongkongan
Fungsi
kerongkongan yaitu menyalurkan makanan dari mulut ke lambung. Di bagian dalam
mulut juga terdapat epiglotis yaitu persimpangan antara 2 saluran yang dijaga
oleh sebuah klep. Pada waktu bernapas klep ini membuka sehingga udara masuk
kedalam tenggorokan dan pada waktu menelan makanan klep tersebut akan
menutup. Sebenarnya klep ini menjaga kerja antara kerongkongan dan tenggorokan
supaya proses pencernaan dan pernapasan berjalan lancar. Di dalam kerongkongan
juga terjadi gerakan peristaltik yaitu gerakan melebar dan menyempit,
bergelombang, dan meremas-remas untuk mendorong makanana sedikit demi sedikit
ke lambung dan di dinding kerongkongan juga terdapat lendir supaya makanaan
mudah untuk melaluinya.
3.
Lambung
Lambung (ventrikulus)
adalah kantung besar yang terletak di sebelah kiri rongga perut sebagai tempat
dalam terjadinya sejumlah dari proses pencernaan. Lambung terdiri dari tiga
bagian, yaitu bagian atas (kardiak), bagian tengah yang membulat (fundus), dan
pada bagian bawah (pilorus), Kardiak berdekatan dengan hati dan berhubungan
dengan kerongkongan. Pilorus berhubungan langsung dengan usus dua belas jari.
Di bagian ujung pada kardiak dan pilorus akan terdapat klep atau sfinger yang
mengatur dalam masuknya dan keluarnya makanan ke dan dari lambung.
4.
Usus
Halus (Intestinum)
Usus
halus terbagi atas 3 bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong
(jejunum), dan usus penyerapan (ileum).Di dalam usus halus terjadi proses
pencernaan kimiawi dengan melibatkan berbagai enzim pencernaan. Karbohidrat
dicerna menjadi glukosa. Lemak dicerna menjadi asam lemak dan gliserol, serta
protein dicerna menjadi asam amino. Jadi, pada usus dua belas jari, seluruh
proses pencernaan karbohidrat, lemak dan protein yang diselesaikan. Selanjutnya,
pada proses penyerapan (absorbsi) akan berlangsung di usus kosong dan sebagian
besar di usus penyerap. Karbohidrat diserap dalam bentuk glukosa, lemak diserap
dalam bentuk asam lemak dan gliserol, dan protein diserap dalam bentuk asam
amino. Vitamin dan mineral tidak mengalami pencernaan dan dapat langsung
diserap oleh usus halus. Pada dinding usus penyerap terdapat jonjot-jonjot usus
yang disebut dengan vili. Vili berfungsi memperluas daerah penyerapan pada usus
halus sehingga sari-sari makanan dapat terserap lebih banyak dan cepat.
5. UsusBesar
Merupakan
saluran pembuangan sisa makanan menuju lubang pengeluaran anus. Usus besar juga
mempunyai bagian yang disebut usus buntu.Usus
besar jga sebagai tempat menampung sisa makanan yang sudah tidak dapat dicerna
lagi. Pada bagian usus besar sudah tidak terdapat enzim-enzim pada bagian usus
bsar ini sudah tidak ada proses pencernaan lagi. Usus besar hanya sebagai jalan
keluar serta tempat menampung tinja selanjutnya yang dikeluarkan oleh anus.
C.
Gangguan
Pada Saluran
Pencernaan
1. Tukak peptik
Tukak adalah suatu lesi yang berbentuk lubang pada suatu selaput tubuh.
Tukak peptik adalah sekelompok penyakit pada saluran pencernaan yang disebabkan
oleh paparan pepsin atau asam lambung dalam konsentrasi dan durasi tertentu
yang mampu menyebabkan tukak. Meskipun pembentukan tukak (ulserasi) paling
sering terjadi pada lambung (tukak lambung) atau pada usus halus (tukak
duodenum), tukak juga dapat terjadi pada esofagus dan bagian lain pada saluran
pencernaan bagian atas. Tukak peptik terjadi karena ketidakseimbangan antara
faktor-faktor penyerang seperti asam, pepsin, Helicobacter pylori, dan
faktor-faktor pertahanan tubuh seperti getah lambung, ion bikarbonat, dan
prostaglandin, bersamaan dengan resistensi sel-sel mukosa saluran pencernaan.
Farmakoterapi
Tukak
Pengobatan tukak peptik bertujuan untuk meringankan rasa sakit,
mempercepat penyembuhan tukak, mengurangi komplikasi karena tukak membasmi
infeksi H. pylori, dan meminimalkan kejadian tukak muncul kembali.
Farmakoterapi
tukak lebih banyak difokuskan pada penekanan sekresi asam lambung secara
mendalam dengan penghambat pompa proton (proton pump inhibitor, PPI) dalam
pengobatan pasien dengan pendarahan gastro intestinal bagian atas. Data-data
eksperimental menunjukkan bahwa asam lambung mengganggu proses penggumpalan
darah, mempercepat deagregasi platelet dan membantu fibrinolisis. Jadi, tujuan
farmakoterapi pasca hemostasis adalah mendapatkan pH lambung >6,0 sehingga
pembentukan gumpalan darah menjadi lebih optimal dan stabilisasinya dapat
tercapai.
Golongan
obat-obatan yang umumnya digunakan dalam terapi tukak adalah antasida,
penyekatan H2, penghambat pompa proton, antikolinergik, dan agens
antipeptikum.
ANTASIDA
Antasida
merupakan senyawa basa lemah yang digunakan untuk menetralkan asam lambung dan
umumnya merupakan senyawa aluminium dana tau magnesium yang secara kimiawi
mengikat kelebihan HCl di dalam lambung.
PENYEKAT H2 (H2-BLOCKER)
Penyekat H2, seperti simetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin, dan roxatidin. Obat golongan ini merupakan
antagonis H2 spesifik yang menghambat sekresi asam lambung melalui
penyekatan reseptor H2 secara kompetitif pada membran basolateral
sel parietal. Penyekat H2 menghambat sekresi asam yang distimulasi
oleh gastrin secara parsial saja. Obat ini lebih efektif untuk menghambat
keasaman di dalam lambung selama periode sekresi asam. Karena periode paling
panjang sekresi asam terjadi pada malam hari, obat paling optimal diberikan
setelah makan malam atau sebelum tidur.
Obat
|
Dosis
Lazim untuk Tukak Dudenum atau Lambung Akut
|
Semetidin
|
800 mg HS atau 400 mg bid
|
Ranitidin
|
300 mg HS atau 150 mg bid
|
Nizatadin
|
300 mg HS atau 150 mg bid
|
Famotidin
|
40 mg HS atau 20 mg bid
|
Efek Samping: Diare, rasa lelah, nyeri kepala, mialgia, dan
konstipasi
PENGHAMBAT POMPA PROTON
Mekanisme
kerjanya mengontrol
sekresi asam lambung dengan cara menghambat pompa proton yang mentranspor ion H+
keluar dari sel parietal lambung. Contohnya omeprazol, lansoprazol, esomeprazol, pantoprazol, dan
rabeprazol.
Obat
|
Dosis
Lazim untuk Tukak Peptik
|
Omeprazol
|
20-40 mg sekali sehari
|
Esomeprazol
|
20-40 mg sekali sehari
|
Lansoprazol
|
30 mg sekali sehari
|
Pantoprazol
|
40 mg sekali sehari
|
Rabeprazol
|
20 mg sekali sehari
|
Efek Samping: Diare, nyeri kepala, dan nyeri abdomen.
ANTIKOLINERGIK
Obat-obatan antikolinergik menurunkan sekresi asam dengan
menghambat reseptor muskarinik asetilkolin. Salah satu antikolinergik yang
sering digunakan untuk tukak peptik adalah pirenzepin. Pirenzepin merupakan
suatu obat antikolinergik selektif dan termasuk salah satu anggota kelas obat
antimuskarinik baru untuk pengobatan tukak peptik.
Efek Samping : Mulut kering, pandangan kabur, retensi urin, dan
pengeringan sekresi bronkial.
AGENS ANTIPEPTIKUM
Sukralfat, diberikan untuk melindungi lokasi ulkus yang mengalami
erosi di dalam saluran cerna dari kerusakan lebih lanjut akibat asam lambung
dan enzim pencernaan.
Cara Kerja: sukralfat membentuk suatu perekat yang mengikat diri
secara elektrostatik pada lubang tukak dan menutupi daerah tukak tersebut
sehingga tukak terlindungi dari penyerangan lebih lanjut oleh asam, pepsin, dan
garam empdu. Dosis : 1 g PO
b.i.d - q.i.d. Efek Samping : konstipasi
2. Mual dan
Muntah
Mual dan muntah
merupakan maniferasi beragam penyakit, mencakup efek samping obat, penyakit
atau infeksi sistemik; kehamilan; disfungsi vestibulum; atau peningkatan
tekanan susunan saraf pusat; peritonitis gangguan hepatobiliaris; radiasi atau
kemoterapi; dan obstruksi, dismoilitas, atau infeksi saluran cerna.
Patofisiologi
“pusat muntah” di
batang otak adalah regio saraf yang tersusun longgar di dalam formasio
retikularis medula lateral dan mengkoodinasikan tindakan muntah yang kompleks
melalui interaksi dengan saraf kranialis VIII dan X serta anyaman saraf di
nukleus traktus solitarius yang mengontrol pusat pusat pernapasan, salivasi,
dan vasomotor. Di pusat muntah dapat di temukan reseptor muskarinik M1,
histamin H1, neurokinin 1 (NK1), dan serotonin 5-HT3 berkonsentrasi tinggi.
Terdapat empat sumber
penting masukan aferen ke pusat muntah:
1 . “Chemoreceptor
trigger zone” atau area postrerna terletak di ujung kaudal ventrikel keempat.
Struktur ini terletak di luar sawar darah otak, tetapi dapat diakses oleh
rangsangan emetogenik di darah atau cairan serebrospinal. Chernoreceplor
trigger zone kaya akan reseptor doparnin D2 dan reseptor opioid, dan mungkin
reseptor serotonin 5HT3 dan reseptor NK1.
2. Sistern vestibulurn
penting pada mabuk perjalanan (motion sickness) melalui sarafkranialis VIII.
Sistem ini banyak mengandung reseptor muskarinik M1 dan histamin H1.
3. Saraf aferen vagus
dan spinal dan saluran cerna kaya akan reseptor 5-HT3. Iritasi mukosa
pencernaan oleh kemoterapi, terapi radiasi peregangan atau gastroenteritis
infeksiosa akut menyebabkan pelepasan serotonin mukosa dan pengaktifan reseptor-reseptor
ini yang rnerangsang inasukan aferen vagus ke pusat muntah dan chemoreceptor
triggcr zone.
4. Susunan saraf pusat
berperan dalarn muntah akibat gangguan psikiatrik, stres, dan muntab
antisipatorik sebelurn kemoterapi kanker. Identifikasi berbagai neurotransmiter
yang terlibat dalarn timbulnya emesis memungki nkan dikembangkannya berbagai
golongan obat antiemetik yang memiliki afinitas terhadap berbagai reseptor.
Kombinasi obat antiernetik dengan mekanisme kerja berbeda-beda sering digunakan
khususnya pada pasien dengan muntah karena obat kemoterapi.
Farmakokineka
& Farmakodinamika
Antagonis selektif
reseptor 5-HT3 memiliki sifar antiemetik kuat yang diperantai sebagian melalui
blokade reseptor 5-HT3 sentral di pusat muntah dan chemoreceptor trigger zone,
tetapi terutama melalui blokade reseptor 5-HT3 perifer di saraf aferen spinal
dan vagus usus ekstrinsik. Efek antiemetik obat obat ini terbatas pada muntah
karena stimulasi vagus (mis., pascaoperasi) dan kemoterapi ; rangsangan muntah
lain misalnya mabuk perjalanan kurang dapat diatasi.
Di AS tersedia empat
obat : ondansetron, granisentron, dolasentron, dan palonosentron (tropisentron
adalah obat lain yang tersedia di luar AS). Tiga obat pertama (ondansetron,
granisentron, dolasentron) memiliki waktu paruh serum 4-9 jam dapat diberikan
sekali sehari melalui rute oral intravena. Ketiga obat memiliki efikasi dan
palonoseron adalah obat intra vena baru yang memiliki afintas lebih besar
terhadap reseptor 5-HT3 dan waktu paruh serum panjang (40 jam). Keempat obat mengalami metabolisme ekstensif
di hati dan dieliminasi oleh ginjal dan hati. Namun, tidak diperlukan
pengurangan dosis pada pasien geriatrik atau pasien dengan insufisiensi injal.
Bagi pasien dengan insulfisiensi hati, mungkin diperlukan pengurangan dosis
dengan ondansetron.
Antagonis reseptor 5-HT3
tidak menghambat reseptor dopamin atau muskarinik. Mereka tidak berefek pada
motilitas esofagus atau lambung tetapi dapat memperlambat transit kolon.
Pemakaian
Klinis
A.
Mual dan Muntah
Imbas-Kemoterapi
Antagonis
reseptor 5-HT3 adalah obat primer untuk mencegah mual dan muntah
imbas-kemoterapi akut. Jika digunakan sendiri, obat-obat ini tidak atau sedikit
memperlihatkan efikasi pada mual
dan muntah tipe lambat (yi. yang terjadi >24 jam setelah kemoterapi).
Obat-obat ini paling
efektif jika diberikan sebagai dosis tunggal denganpenyuntikan intravena 30
menit sebelum pemberian kemoterapi dengan dosis sebagai berikut: ondansetron, 8
mg;granisetron, 1 mg; dolasetron, 100 mg; atau palonosetron,0,25 mg. Dosis oral
tunggal yang diberikan 1 jam sebelum Kemoterapi mungkin sama efektifnya dalam
rejimen berikut: ondansetron, 8 mg dua kali sehari atau 24 mg sekali;
granisetron 2 mg; dolasetron, l00 mg. Meskipun antagonis reseptor 5-HT3 efektif
sebagai obat tunggal untuk mencegah mual dan muntah imbas-kernoterapi, efikasi
mereka diperkuat oleh terapi kombinasi dengan kortikosteroid (deksametason) dan
antagonis reseptor NK1
B.
Mual dan Muntah
Pascaoperasi dan Pascaradiasi
Antagonis
reseptor 5HT3 digunakan untuk mencegah ataumengobati mulai dan muntah
pascaoperasi. Karena efeksamping dan meningkatnya pembatasan pemakaian
obatantiemetik lain, antagonis reseptor 5-HT3 kini semakinsering digunakan
untuk indikasi ini. Mereka juga efektifuntuk mencegah dan mengobati mual dan muntah
pada pasien yang menjalani terapi radiasi ke seluruh tubuh atau abdomen.
Efek
Samping
Antagonis reseptor
5-HT3 ditoleransi dengan baik, denganprofil keamanan yang tinggi. Efek samping
yang palingsering dilaporkan adalah nyeri kepala, pusing bergoyang,dan
konstipasi. Keempat obat menyebabkan pemanjanganinterval QT yang kecil tetapi
secara statistik signifikan,terutama pada pemberian dolasetron. Meskipun
aritmiajantung belum pernah dikaitkan dengan dolasetron, obatini seharusnya
tidak diberikan kepada pasien dengan QTmemanjang atau bersama dengan obat lain
yang mungkinmemperpanjang interval QT
Interaksi
Obat
Belum pernà h dilaporkan
interaksi obat signifikan denganantagonis reseptor 5-HT3. Keempat obat
mengalami metabolisme oleh sistem sitokrom P450 hati tetapi obat ini sepertinya
tidak memengaruhi metabolisme obat lain. Namun,obat-obat yang lain dapat
mengurangi bersihan antagonisreseptor 5-HT3 di hati, mengubah waktu-paruh
mereka.
Kortikosteroid
Kortikosteroid (deksametason,
metilprednisolon) memiliki
sifat
antiemetik, telapi dasar dan efek efek ini belum diketahui. Obat-obat ini
tampaknya meningkatkan efìkasi antagonis reseptor 5 HT3 untuk mencegah mual dan
muntah akut pada pasien rejimen kemoterapi dan tipe lambat pada pasien yang
mendapat rejimen kemoterapi emetogenik sedang sampai kuat. Meskipun
sejumlah kortikosteroid pernah digunakan, yang sering di pakai adalah
deksametason, 8-20 mg intravena sebelum kemoterapi, diikuti oleh 8mh/hari
selama 2-4 hari.
Antagonis
Reseptor Neurokinin
Antagonis reseptor
neurokinin 1 (NK1) memiliki sifat antiemetik yang diperantarai melalui blokade
sentral diarea postrema. Aprepitan (suatu sediaan
oral) adalah antagonis
reseptor NK1 yang sangat selektif yang menembus sawar darah otak dan menempati
reseptor NK1 di otak. Obat ini tidak
memiliki afinitas terhadap reseptor serotonin, dopamin, atau
kortikosteroid. Fosaprepitan adalah formulalasi intravena yang diubah menjadi
aprepitan dalam 30menit setelah infus.
Farmakokinetika
Bioavailabilitas
aprepitan adalah 65% dan waktu paruh serum adalah 12 jam. Aprepitan
dimetabolisme oleh hati terutarna oleh jalur CYP3A4.
Pemakaian
Klinis
Aprepitan digunakan
dalam kombinasi dengan antagonis reseptor 5-HT3 dan kortikosteroid untuk
mencegah mual dan muntah akut dan tipe lambat akibat rejimen kemotreapik yang
sangat emetogenik. Terapi kombinasi dengan apreptian, antagonis reseptor 5HT3,
dan deksametasonmenceah emesis akut pada 80-90% pasien dibandingkan dengan
kurangdari 70 % yang diterapi tanpa apreptian. Emesis tipe lambat dicegah pada
lebih dari 70 % pasien yang mendapat terapi kombinasi versus 30-50% yang di
terapi tanpa apreptian. Antagonis reseptor NK1 dapat diberikan selama 3 hari
sebagai berikut : apreptian oral 125 mg atau fosapreptian intravena 115 mg
diberikan 1 jam sebelum kemoterapi, diikuti oleh apreptian oral 80mg/hari
selama 2 hari kemoterapi.
Efek
Samping & lnteraksi Obat
Aprepitan mungkin
berkaitan dengan rasa lelah pusing, bergoyang, dan diare. Obat ini
dimetabolisme oleh CYP3A4 dan dapat menghambat metabolisme obat lain yang
dimetabolisme oleh jalur CYP3A4, mencakup doketaksel, palitaksel etoposid
irinotekan, imatinib, vinblastin dan vinkristin . Obat ini menghambat
metabolisme CYP3A4 dapat secara signifikan meningkatkan kadar plasma aprepitan
(mis., ketokenazol, siprofloksasin, klaritromisin, nefazodon, ritonavir,
nelfinafir, varapamil, dan kunidin). Aprepitan menurunkan international
normalized ratio (INR) pada pasien warfarin.
3. Diare
Obat antidiare dapat
digunakan dengan aman pada pasien dengan diare akut ringan sampai sedang.
Tetapi obat ini tidak diberikan kepada pasien yang diarenya berdarah, demam
tinggi atau toksisitas sistemik karena resiko memburuknya penyakit yang
mendasari. Obat-obat antidiare :
1)
Loperamid
Loperamid adalah obat yang digunakan untuk
mengatasi diare akut. Penyakit ini umumnya disebabkan oleh virus, infeksi
akibat bakteri dan jenis kuman lainnya. Dan juga loperamid suatu agonis oploid
non-resep yang tidak menembus sawar darah-otak serta tidak memiliki efek analgesik
atau potensi adiksi.
-
Dosis umum :
Dewasa 4mg PO kemudian
2mg PO setiap kali feses encer.
Pediatrik (2-12thn):
1-2 mg PO t.i.d.
Pediartik (<2 thn):
tidak direkomendasikan.
-
Indikasi umum :
Kegunaan loperamide adalah untuk
pengobatan beberapa jenis diare seperti diare akut nonspesifik, diare ringan,
sindrom iritasi usus, diare kronis akibat reseksi usus, dan diare kronis
sekunder untuk penyakit radang usus.
Obat ini juga digunakan untuk mengurangi
jumlah tinja pada orang yang memiliki ileostomy (re-routing usus melalui lubang
bedah di perut).
2)
Kaolinpektin
(Guanistrep)
Kaolin adalah suatu absorben untuk
menyerap toksin baik yang berupa gas atau bahan beracun lainnya yang merangsang
dari saluran usus, selanjutnya membentuk lapisan pelindung pada dinding usus.
Sedangkan Pektin yaitu bahan yang berfungsi untuk menghilangkan hasil
pertumbuhan bakteri yang bersifat racun. Karena kemampuannya membentuk asam
galakturonat dari kuman maka bisa berefek mematikan kuman yang merugikan
Dosis umum :
-
Bayi 6 – 12 bulan : 1 sendok
takaran, 1 kali sehari
-
Anak-anak 1 – 3 tahun : 1 sendok
takaran, 2 kali sehari.
-
Anak-anak 3 – 10 tahun: 2 sendok
takaran, 2 – 3 kali sehari.
-
Dewasa : 2 sendok takaran, 3 – 4
kali sehari.
Indikasi :
Indikasi Guanistrep
adalah untuk pengobatan simtomatik pada diare, karena pencernaan yang tidak
normal, dan diare karena penyebab lain yang tidak diketahui secara pasti.
3)
Bismuth
subsalisilat
Bekerja secara lokal untuk melindungi
lapisan saluran GI dan mengurangi setiap iritasi yang mungkin menstimulasi
refleks lokal yang dapat menyebabkan aktifitas GI yang berlebihan dan diare.
Dosis umum :
Dewasa : 524 mg PO setiap 30-60 menit
sesuai keperluan, sampai delapan dosis per hari. Pediatrik <3 thn-tidak di
anjurkan ; 3-6 thn-1/2
tablet atau 5ml PO ;6-9thn-2/3 tablet atau 10ml PO ; 9-12thn-1 tablet atau 15ml
PO.
Indikasi :
Pengobatan traveler’s diarrhe,
pencegahan kram dan distensi akibat diet yang berlebihan dan beberapa infeksi
virus.
4)
Derivat
opium (paregoric)
Bekerja untuk menstimulasi spasme dalam
saluran GI, menghentikan peristalsis dan diare serta ketidaknyamanan.
Dosis umum:
Dewasa 5-10ml PO; pediatrik
0,25-0,5ml/kg PO sesuai kebutuhan
Indikasi umum:
Pengobatan jangka pendek untuk kram dan
diare.
Cara
kerja dan indikasi terapeutik
Agens antidiare memperlambat motilitas
saluran GI melalui kerja langsung pada lapisan saluran GI untuk menghambat
refleks obat (bismuth subsalisilat). Melalui kerja langsung pada otot saluran
GI untuk memperhambat aktivitas GI (loperamid).obat-obatan ini diindikasikan
untuk peredaran gejala diare akut dan kronis, pengurangan jumlah rabas dari
ileostomi dan pencegahan serta pengobatan traveler’s diarrhea.
Kontraindikasi
dan peringatan
Obat anti diare tidak boleh diberikan
pada orang yang alergi terhadap obat atau komponen obat ini . obat ini harus
digunakan dengan hati-hati pada orang yang memiliki riwayat obstruksi GI,
kondisi abdomen akut, atau diare diakibatkan keracunan.
Efek
merugikan
Efek merugikan akibat penggunaan obat
antidiare, seperti konstipasi, distensi, ketidaknyamanan abdomen, mual, muntah,
mulut kering dan bahkan toksis megakolon, terikat dengan efek obat pada saluran
GI. efek merugikan lainnya yang telah dilaporkan adalah keletihan, kelemahan,
pusing dan ruam kulit.
Penyebab
diare
-
gangguan
transport air dan elektolit di usus
-
peningkatan
tekanan osmotik di dalam usus (sehingga menyebabkan retensi air di dalam
lumen);
-
sekresi
elektrolit dan air yang berlebihan ke dalam lumen usus;
-
eksudasi
protein dan cairan dari mukosa; dan
-
perubahan
motilitas usus, sehingga mempercepat transit.
4. PENCAHAR / LAKSATIF
Sebagian besar orang
tidak memerlukan laksatif ( pencahar ). Namun obat golongan ini dibeli tanpa
resep oleh banyak orang. Bagi sebagian besar orang, konstipasi berkala paling
baik diatasi dengan diet tinggi serat, asupan yang memadai, olahraga teratur ,dan tidak menahan
keinginan buang air besar. Pasien yang tidak berespon terhadap perubahan diet
atau suplemen serat seyogianya menjalani evaluasi medis sebelum menggunakan
pencahar dalam jangka panjang. Lakstif dapat di klasifikasikan berdasarkan
mekanisme kerja utama mereka, tetapi banyak pencahar yang bekerja melalui lebih
dari satu mekanisme.
1) Pencahar Pembentuk
Massa
Pencahar pembentuk
massa adalah koloid hidrofilik tak tercerna yang menyerap air, membentuk gel
emolien dalam jumlah besar yang meregangkan kolon dan meningkatkan peristalsis.
Sediaan umum mencakup produk nabati alami ( psilium, metilselulosa ) dan serat sintetik ( polikarbokil ) tercernanya serat tanaman oleh bakteri di dalam
kolon dapat menyebabkan perut kembung dan peningktan flatus.
2) Obat Surfaktan (pelunak
) Tinja
Obat- obat ini
melunakkan tinja,memungkinkan penetrasi air dan lemak. Obat golongan ini dapat
diberikan peroral atau perrektum. Obat yang sering digunakan adalah dokusat (oral atau enema) dan suppositoria gliserin. Pada pasien
rawat inap, dokusat sering diresepkan untuk mencegah konstipasi dan mengurangi
mengejan. Minyak mineraladalah
minyak kental jernih yang melumasi tinja, mencegah penyerapan air dan tinja.
Obat ini digunakan untuk mencegah dan mengobati infaksi tinja pada anak dan
orang dewasa yang mengalami debilitas. Obat ini terasa tidak enak, tetapi dapat
dicampur dengan jus. Aspirasi dapat menyebabkan pneumonitis lemak yang parah.
Pemakaian jangka panjang dapat mengganggu penyerapan vitamin larut lemak ( A,
D, E, K ).
3) Pencahar Osmotik
Kolon tidak dapat
memekatkan atau mengencerkan cairan tinja : air tinja bersifat isotonik di
sepanjang kolon. Pencahar osmotik adalah senyawa larut yang tidak dapat diserap
yang meningkatkan likuiditas tinja karena peningkatan obligat tinja.
Gula
atau Garam yang tidak Terserap
Obat- obat ini dapat
digunakan untuk terapi konstipasi akut atau mencegah konstipasi kronik. Magnesium hidroksida( milk of magnesia
) adalah pencahar osmotik yang sering digunakan. Obat ini jangan digunakan
untuk jangka lama pada pasien dengan insupisiensi ginjal karena resiko
hipermagnesenia. Sorbitoldan laktulosaadalah gula tak terserap yang
dapat digunakan untuk mencegah atau mengobati konstipasi kronik. Kedua gula ini
dimetabolisme oleh bekteri kolon, menyebabkan flatus berat dan kram.
Bahan osmosis-aktif
dosis tinggi dapat menyebabkan efakuasi usus segera (purgation) dalam 1 sampai
3 jam. Perpindahan cepat dari air ke usus halus disetal dan kolon menyebabkan
dihasilkannya tinja cair bervolume besar diikuti oleh redanya konstipasi. Purgative
yang paling sering digunakan adalah magnesium
sitrat dan natrium fosfat.
Natrium fosfat tersedia sebagai sediaan cair nonresep atau sediaan tablet
dengan resep. Ketika memakai obat-obatan ini pasien perlu mempertahankan
hidrasi yang kuat dengan meningkatkan asupan cairan oral untuk mengompenasi
pengeluaran cairan tinja. Natrium fosfat sering menyebebkan hiperfosfatenia,
hipokalsenia, hipernatremia, dan hipokalemia. Meskipun pada sebagian besar
pasien tidak signifikan secara klinis, berbagai kelainan elektrolit tersebut
dapat menimbulkan aritmia jantung atau gagal ginjal akut akibat pengendapan
kalsium fosfat di tubulus (neprokal sinosis) . sediaan natrium fosfat jangan
digunakan pada pasien yang lemah atau berusia lanjut, mengidap isufisiensi
ginjal, mengidap penyakit jantung signifikan, atau tidak mampu mempertahankan
hidasi yang kuat sewaktu pengosongan usus.
Polietilen
Glikol Seimbang
Larutan pembilas yang
mengandung polietilen glikol (PEG) digunakan untuk membersihkan kolon secara
tuntas sebelum prosedur endoskopik saluran cerna. Larutan isotonik yang
seimbang ini mengandung gula inert tak terserap yang secara osmosis aktif (PEG)
dengan natrium sulfat, natrium klorida, natrium bikarbonat, dan kalium klorida.
Larutan dirancang sedemikian sehingga tidak terjadi pergeseran cairan yang
elektrolit intravaskular. Karena itu, larutan ini aman bagi semua pasien.
Larutan harus ditelan secara cepat (2/4 L dalam 2-4 jam ) untuk memberihkan
usus. Untuk mencegah atau mengobati konstipasi kronik, bubuk PEG dalam jumlah
lebih sedikit dapat bercampur dengan air atau jus (17 G/8 OZ) dan diminum
setiap hari. Berbeda dengan sorbitol atau laktosa. PEG tidak menyebabkan kram
atau flatus signifikan
4) Pencahar Stimulan
Pencahar stimulan
(katartik) memicu buang air besar melalui sejumlah mekanisme yang belum
sepenuhnya dipahami. Mekanisme-mekanisme tersebut mencakup stimulasi susunan
saraf usus serta sekresi cairan dan elektrolit kolon. Terdapat kekhawatiran
bahwa pemakaian jangka panjang katartik dapat menyebabkan ketergantungan dan
kerusakan pleksus mienterikus, menyebabkan atoni dan dilatasi kolon.
Riset-riset terakhir menyarankan bahwa pemakaian jangka panjang obat golongan
ini mungkin aman bagi sebagian besar pasien. Katartik mungkin diperlukan untuk
jangka panjang, khususnya pada pasien yang mengalami gangguan neurologis dan
pasien tirah baring dipsilitas perawatan jangka panjang.
Turunan
Antrakuinon
Aloe, sena, dan kaskara
terdapat secara alami di tanaman berbagai pencahar ini kurang diserap dan
setelah hidrolisis di kolon menimbulkan buang air besar dalam 6-12 jam jika
diberikan per oral dalam 2 jam diberikan per rektum. Pemakaian kronik
menyebabkan pigmentasi cokelat khas di kolon yang dikenal sebagai “ melanosis
koli”. Terhadap kekhawatiran bahwa bahan bahan ini mungkin karsinogenik tetapi
studi studi epidemiologik tidak menunjukan adanya keterkaitan dengan kanker
kolorektum.
Turunan
Difenilmetan
Bisakodil tersedia
dalam bentuk tablet dan supositoria untuk mengobati konstipasi akut dan kronik.
Obat ini juga dapat di gunakan secara bersamaan dengan larutan P E G untuk
membersihkan kolon sebelum kolonoskopi. Bisakodil memicu buang air besar dalam
6-10 jam jika diberikan per oral dan 30-60 menit jika diberikan per rektum.
Obat ini sangat sedikit diserap secara sistemik dan tampanya aman untuk
pemakaian akut atau kronik. Fenolfalein, bahan lain dalam golongan ini, ditarik
dari pasaran, kekhawatiran akan kemungkinan toksisitas jantung.
5) Aktifator Saluran
Klorida
Lubifroston
adalah turunan asam frostanoat yang dilabel untuk digunakan pada konstipasi
kronik dan iritable bowel syndrome ( IBS ) dengan gejala utama konstipasi. Obat
ini bekerja dengan merangsang saluran klorida tipe 2 (CIC-2) di usus halus. Hal
ini meningkatkan sekresi cairan kaya klorida ke dalam usus, yang merangsang
motilitas usus dan mempersingkat waktu teranskip di usus. Lebih dari 50% pasien
mengalami buang air besar dalam 24 jam setelah diberikan satu dosis. Pada
pemberian jangka panjang efikasi obat tampaknya tidak berkurang. Setelah
obatnya dihentikan konstipasi ungkin pulih keganasannya ke tingkat semula.
Lubifroston hanya sedikit diserap secara sistemik tetapi digolongkan kategori C
untuk kehamilan karena meningkatkan kematian janin pada hewan percobaan.
Lubifroston dapat menyebabkan mual pada hampir 30 pasien karena melambatnya
pengosongan lambung.
6) Antagonis Reseptor
Opioid
Pemberian opioid akut
atau kronik dapat menyebabkan konstipasi dengan menurunkan motilitas usus
sehingga waktu translit memanjang dan meningkatnya penyerapan air tinja.
Pemakaian opioid setelah pembedahan untuk mengobati nyeri serta opioid indogen
juga dapat memperlama berlangsungnya ileus pasca operasi. Efek-efek ini
terutama diperantarai melalui reseptor opioid mu (μ) usus. Terdapat dua
antagonis selektif reseptor opioid-μ dipasaran: metilnaltrekson bromida dan
alvimopan. Karena tidak mudah menembus sawar darah otak, obat-obat ini
menghambat reseptor opioid-μ perifer tanpa mempengaruhi efek analgesiknya
disusunan saraf pusat. Metilnaltrekson telah disetujui untuk mengobati
konstipasi imbas opioid pada pasien yang mendapat perawatan paliatif untuk
penyakit stadium lanjut yang kurang berespons terhadap obat lain. Obat ini
diberikan sebagai suntikan subkutis (0,15 mg/kg) setiap 2 hari. Alvimofan telah
disetujui untuk pemakaian jangka pendek untuk mempersingkat periode ileus pasc
operasi pada pasien rawat inap yang menjalani reseksi usus halus atau besar.
Alvimofan ( kapsul 12 mg ) diberikan peroral dalam 5 jam sebelum pembedahan dan
2 kali sehari setelah pembedahan sampai fungsi buang air besar pulih, tetapi
tidak lebih dari 7 hari karena kemungkinan terjadinya toksisitas kaediovaskular
alvimofan saat ini dibatasi hanya untuk pemakaian jangka pendek pada pasien
rawat inap.
7) Agonis Reseptor
Serotonin 5-HT4
Stimulasi reseptor 5-HT4diterminal
prasinaps saraf eferen primer intrinsik submukosa meningkatkan pelepasan neuro
transmiter, mencakup calcitonin gene-related peptide, yang merangsang neuron
enterik ordo kedua untuk mendorong refleks paristaltik. Neuron-neuron enterik
ini merangsang kontraksi usus proksimal (melalui asetilkolin) dan substansi P
dan relaksasi usus distal (melalui nitrat oksida) dan vasoactive intestinal
peptide/VIV).
Tegaserod
adalah suatu agonis parsial selotonin 5-HT4yang
memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor 5-HT3atau dopamin.
Tegaserod telah disetujui untuk mengobati pasien dengan konstipasi kronik dan
IBS predominan konstipasi. Meskipun semula tampaknya sangat aman, tegaserod
secara sukarela ditarik dari pasaran pada tahun 2007 karena meningkatnya
insiden penyakit kardiovaskular yang serius. Efek-efek samping ini diperkirakan
berkaitan dengan inhibisi reseptor 5-HT1B.
Agonis parsial 5-HT4lainnya,
yaitu cisapride, juga berkaitan
dengan peningkatan resiko penyulit kardiovaskular yang diperkirakan berhubungan
dengan inhibisi saluran K+ Herg (human ether-a-go-related gene), yang
menyebabkan pemanjangan QTc pada sebagian pasien.
Prukalprolid
adalah agonis 5-HT4berafinitas
tinggi yang tersedia di eropa (tetapi tidak d AS) untuk mengobati konstripasi
kronik pada wanita. Berbeda dari cisapride dan tegaserod, obat ini tampaknya
tidak memiliki afinitas signifikan terhadap saluran Hreg 5-HT1B. Dalam uji-uji klinis 12 minggu pada pasien
dengan kontripasi kronik berat, obat ini secara signifikan meningkatkan buang
air besar dibandingkan dengan placebo. Efikasi dan keamanan jangka panjang obat
ini memerlukan penelitian lebih lanjut
8) Agonis Guamilat Siklase
Linaklotid
adalah peptida 14 asam amino yang kurang diserap dan
berikatan dengan reseptor guamimilat siklase C dipermukaan luminal enterosid
usus mengaktifkan cysticfibrosis trans membrane conductance chanel dan
merangsang sekresi cairan usus. Uji-uji klinis fase 3 awal mengonfirmasi
efikasinya pada pasien dengan konstipasi kronik. Diperlukan
penelitian-penelitian lebih lanjut.
5.
INFLAMMATORY BOWEL DISEASE
Dalam istilah medis penyakit radang usus disebut
sebagai Inflammatory Bowel Disease (IBD) yang merupakan peradangan kronis dari
seluruh atau sebagian saluran pencernaan. Penyakit ini meliputi dua kondisi
utama yaitu kolitis ulserativa dan penyakit Crohn. Terapi farmakologik inflammatory bowel disease
sering melibatkan obat-obat yang termasuk ke dalam berbagai golongan terapeutik
dan memiliki mekanisme anti-inflamasi yang berbeda tetapi tidak spesifik.
Obat-obat yang digunakan pada inflammatory bowel disease dipilih berdasarkan
keparahan penyakit, responsivitas, dan toksisitas Obat.
Penyebab dari inflammatory bowel disease masih belum diketahui.
Kemungkinan penyebabnya adalah faktor keturunan dan agen-agen infeksi yang
memicu aktifasi sistem kekebalan tubuh. Hal ini terjadi ketika faktor yang
tidak diketahui memicu sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan reaksi peradangan
yang tidak terkendali dan menetap pada usus. Hal ini menyebabkan kerusakan
dinding usus.
Ada 2 tipe inflammatory bowel disease yang utama: Penyakit Crohn dan Kolitis Ulseratif.
Penyakit Crohn adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada
bagian manapun dari saluran pencernaan yang dimulai dari mulut sampai dengan
anus. Kolitis Ulseratif adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan
terbentuknya ulkus-ulkus pada usus besar.
Secara umum, gejala
utama radang usus akibat kolitis ulserativa dan penyakit Crohn sama saja yaitu:
a. Diare. Ini merupakan gejala yang radang usus yang paling sering
b. Sakit perut dan kram. Peradangan dan ulserasi (perlukaan) dapat
mempengaruhi pergerakan usus sehingg menimbulkan rasa sakit dan kram.
c. Mual dan muntah
d. Buang air besar berdarah. Baik itu terlihat secara kasat mata darah merah
segar ataupun merah gelap ataupun tidak melihat (darah samar)
e. Nafsu makan berkurang.
f. Demam dan kelelahan. Banyak orang dengan radang usus juga mengalami demam
ringan disertai dengan lelah atau lemes kurang energi.
g. Penurunan berat badan. Hal ini terjadi karena usus
tidak bisa mencerna dan menyerap makanan dengan baik.
1)
AMINOSALISILAT
Kimia & Formulasi
Aminosalisilat dipercayai bekerja secara topikal (bukan sistemik)
di bagian mukosa saluran cerna yang sakit. Hingga 80% 5-ASA encer dan
tak-berformulasi diserap di usus halus dan tidak mencapai usus halus distal
atau kolon dalam jumlah yang bermakna. Untuk mengatasi penyerapan 5-ASA yang
cepat dari usus halus proksimal, sejumlah formulasi dirancang untuk menyalurkan
5-ASA ke berbagai segmen distal usus halus atau kolon. Sediaan-sediaan tersebut
mencakup sulfasalazin, olsalazin, balsalazid, dan berbagai bentuk mesalamin.
A. Senyawa Azo
Sulfasalazin, balsalazid, dan olsalazin mengandung 5-ASA yang
terikat oleh sebuah ikatan azo (N=N) ke sebuah senyawa inert atau ke molekul
5-ASA lainnya. Pada sulfasalazin, 5-ASA terikat ke sulfapiridin; pada
balsalazid, 5-ASA terikat ke 4-aminobenzil -beta-alanin dan pada olsalazin, dua
molekul 5-ASA menyatuk Struktur azo sangat mengurangi penyerapan obat induk dari usus halus. Di ileum
terminal dan kolon, bakteri residen mutuskan ikatan azo dengan enzim
azoreduktase, membebaskan 5-ASA aktif oleh karena itu, di ileum terminal atau kolon tercapai konsentrasi tinggi
obat yang aktif.
B. Senyawa Mesalamin
Formulasi paten lain dirancang untuk mengemas 5-ASA itu sendiri
dalam berbagai cara agar obat ini dibebaskan di berbagai segmen usus halus dan besar.
Formulasi-formulasi 5-ASA ini secara generik dikenal sebagai mesalamin. Pentasa
adalah formulasi mesalamin yang mengandung mikrogranula timed-release yang
mengeluarkan 5-ASA di sepanjang usus halus. Asacol dan Apriso mengandung 5-ASA
yang dibungkus dalam suatu resin peka-pH yang larut pada pH 6-7 (pH ileum
distal dan kolon proksimal). Lialda juga menggunakan suatu resin dependen-pH
yang membungkus suatu inti multimatriks. Ketika resin peka-pH larut di kolon,
air secara perlahan merembes ke dalam inti hidrofilik dan lipofiliknya,
menyebabkan mesalamin dibebaskan secara perlahan di sepanjang kolon. 5-ASA juga
dapat disalurkan dalam konsentrasi tinggi ke rektum dan kolon sigmoid melalui
sediaan enema (Rowasa) atau supositoria (Canasa).
Farmakokinetika &
Farmakodinamika
Meskipun 5-ASA biasa (unformulated) cepat diserap dari usus halus,
penyerapan 5-ASA dari kolon sangatlah rendah. Sebaliknya, sekitar 20-30% 5-ASA dari formulasi
mesalamin yang ada saat ini diserap secara sistemik di usus halus. 5-ASA yang
terserap mengalami N-asetilasi di epitel usus dan hati menjadi suatu metabolit
yang tidak memiliki aktivitas anti-inflamasi yang signifikan. Metabolit
terasetilasi tersebut diekskresikan oleh ginjal.
Dari berbagai senyawa azo, 10% sulfasalazin dan kurang dari 1%
balsalazid terserap sebagai senyawa asli. Setelah sulfasalazin mengalami
penguraian oleh azoreduktase, lebih dari 85% molekul pembawa sulfapiridin
diserap dari kolon. Sulfapiridin mengalami metabolisme di hati (mencakup
asetilasi) diikuti oleh ekskresi di ginjal. Sebaliknya, setelah penguraian
balsalazid oleh azoreduktase, lebih dari 70% peptida pembawa dapat ditemukan
utuh di tinja, dan hanya sedikit yang terserap lewat sistemik.
Mekanisme kerja 5-ASA belum diketahui pasti. Efek utama salisilat
dan OAINS yang lain adalah “blokade sintesis prostaglandin dengan menghambat siklooksigenase”. Namun, aminosalisilat memiliki
beragam efek pada produksi prostaglandin. Diperkirakan bahwa 5-ASA memodulasi
mediator peradangan yang berasal dari jalur siklooksigenase dan lipooksigenase.
Mekanisme kerja potensial obat-obat 5-ASA lainnya berkaitan dengan kemampuan
mereka untuk memengaruhi produksi sitokin peradangan. 5-ASA menghambat
aktivitas nuclear factor-KB (NF-KB), suatu faktor transkripsi yang
penting untuk berbagai sitokin proinflamasi. 5-ASA mungkin juga menghambat
fungsi selular sel natural killer, limfosit mukosa, dan makrofag, serta mungkin
membersihkan metabolit oksigen reaktif.
Pemakaian Klinis
Obat-obat 5-ASA memicu dan mempertahankan remisi pada kolitis
ulseratif serta dianggap sebagai Obat lini-pertama untuk mengobati kolitis
ulseratif aktif ringan sampai sedang. Efikasi mereka dalam penyakit Crohn belum
terbukti, meskipun banyak dokter menggunakan 5-ASA sebagai terapi lini-pertama
untuk penyakit ringan sampai sedang yang melibatkan kolon atau ileum distal.
Efektivitas terapi 5-ASA sebagian bergantung pada tercapainya
konsentrasi obat yang tinggi di tempat aktifnya penyakit. Karena itu,
supositoria atau enema 5-ASA berguna bagi pasien dengan kolitis ulseratif atau
penyakit Crohn yang terbatas di rektum (proktitis) atau kolon distal
(proktosigmoiditis). Pada pasien dengan kolitis ulseratif atau kolitis Crohn
yang meluas ke kolon proksimal, baik senyawa azo maupun formulasi mesalamin berguna untuk mengobati penyakti Crohn yang
mcngenai usus halus, senyawa mesalamin, yang membebaskan 5-ASA di usus halus,
memiliki keunggulan teoretis dibandingkan dengan senyawa azo.
Efek Samping
Sulfasalazin memiliki insiden efek samping yang tinggi, yang
sebagian besar berkaitan dengan efek sistemik molekul sulfapiridin. Asetilator
lambat sulfapiridin lebih sering dan lebih parah mengalami efek samping
daripada asetilator yang cepat, Hingga 40% pasien tidak dapat menoleransi dosis
terapeutik sulfasalazin, Efek samping yang tersering berkaitan dengan dosis dan
mencakup mual, gangguan gastrointestinal, nyeri kepala, artralgia, mialgia,
supresi sumsum tulang, dan malaise. Hipersensitivitas terhadap sulfapiridin
(atau, meskipun jarang, 5-ASA) dapat menyebabkan demam, dermatitis
eksfoliativa, pankreatitis, pneumonitis, anemia hemolitik, perikarditis, atau
hepatitis. Sulfasalazinjuga dilaporkan berkaitan dengan oligospermia, yang akan
pulih jika Obat ini dihentikan. Sulfasalazin mengganggu penyerapan dan
pemprosesan folat; karena itu, dianjurkan suplementasi diet dengan asam folat 1
mg/hari.
2)
GLUKOKORTIKOID
Farmakokinetika & Farmakodinamika
Dalam praktik gastrointestinal, prednison dan prednisolon adalah
glukokortikoid oral yang paling sering digunakan. Kedua Obat ini memiliki
durasi aktivitas biologik sedang sehingga dapat diberikan sekali sehari.
Enema, busa, atau supositoria hidrokortison digunakan
memaksimalkan efek di jaringan kolon dan memperkecil penyerapan sistemik
melalui terapi topikal inflammatory bowel disease aktif di rektum dan kolon
sigmoid. Penyerapan hidrokortison pada pemberian per rektum berkurang meskipun
15-30% dosis yang diberikan tetap diserap.
Budesonid adalah suatu analog prednisolon sintetik poten yang
memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor glukokortikoid, tetapi mengalami
metabolisme lintas-pertama yang cepat di hati (sebagian oleh CYP3A4) sehingga
bioavailabilitas oralnya rendah, Tersedia formulasi oral lepas-terkendali
budesonid (Entocort) yang membebaskan obat di ileum distal dan kolon, tempat
penyerapan obat tersebut. Bioavailabilitas kapsul budesonid lepas-terkendali
adalah sekitar 10%.
Seperti di jaringan lain, glukokortikoid menghambat pembentukan
berbagai sitokin (TNF-alfa, IL- l) dan kemokin (IL-8) peradangan; mengurangi
ekspresi molekul perekat sel radang; dan menghambat transkripsi gen nitrat
oksida sintase, fosfolipase A2, siklo-oksigenase-2, dan NF-KB.
Pemakaian Klinis
Glukokortikoid sering digunakan untuk mengobati pasien dengan
inflammatory bowel disease aktif yang sedang atau parah, Penyakit aktif sering
diterapi dengan dosis oral awal prednison atau prednisolon 40-60 mg/hari. Dosis
yang lebih tinggi tidak terbukti lebih manjur, tetapi menimbulkan lebih banyak
efek samping. Jika pasien telah berespons terhadap terapi awal (biasanya dalam
1-2 minggu), dosisnya dikurangi secara bertahap untuk memperkecil timbulnya
efek sampings Pada pasien yang sakit berat, Obat biasanya diberikan secara
intravena. Untuk mengobati inflammatory bowel disease yang mengenai rektum atau
kolon sigmoid, glukokortikoid yang diberikan per rektum lebih disukai karena
penyerapan sistemik yang lebih rendah. Budesonid oral lepas-terkendali (9
mg/hari) sering digunakan untuk mengobati penyakit Crohn ringan sampai sedang
yang mengenai ileum dan kolon proksimal. Obat ini tampaknya sedikit kurang
efektif jika dibandingkan dengan prednisolon dalam mencapai remisi klinis
tetapi efek samping sistemiknya jauh lebih rendah. Kortikosteroid tidak berguna
untuk mempertahankan remisi penyakit. Obat lain seperti aminosalisilat atau
obat imunosupresif perlu digunakan untuk tujuan ini.
Efek Samping
Glukokortikoid memiliki efek penting pada
saraf. Insufisiensi adrenal menyebabkan perlambatan nyata irama alfa
elekrtoensefalogram dan dikaitkan dengan depresi. Glukokortikoid dalam jumlah
besar sering menyebabkan gangguan perilaku pada manusia; mula-mula insomnia dan
euforia lalu depresi. Dalam dosis besar juga dapat meningkatkan intrakranium.
3)
ANALOG PURIN: AZATIOPRIN & 6-MERKAPTOPURIN
Farmakokinetika & Farmakodinamika
Azatioprin dan 6-merkaptopurin (6- MP) adalah antimetabolit purin
yang memiliki sifat imunosupresif. Bioavailabilitas azatioprin (80%) lebih baik
daripada 6-MP (50%). Setelah diserap azatioprin cepat diubah oleh proses-proses
non-enzimatik menjadi 6-MP. 6-merkaptopurin kemudian mengalami suatu
biotranforrnasi kompleks melalui persaingan enzim - enzim katabolik (xantin
oksidase dan tiopurin metiltransferase) yang menghasilkan metabolit inaktif dan
jalur anabolik yang menghasilkan nukleotida tioguanin aktif. Azatioprin dan 6-
MP memlliki waktu-paruh serum kurang dari 2 jam; namun, nukleotida 6-tioguanin
aktif terkonsentrasi di sel - sel sehingga waktu paruhnya memanjang hingga
hitungan harian. Kinetika nukleotida 6-tioguanin yang memanjang menyebabkan
penundaan 17 minggu sebelum awitan manfaat terapeutik azatioprin atau 6-MP oral
terlihat pada pasjen dengan penyakit peradangan usus.
Pemakaian Klinis
Azatioprin dan 6-MP merupakan obat penting dalam induksi dan
pemeliharaan remisi kolitis ulseratif dan penyakit Crohn. Meskipun dosis
optimalnya belum diketahui, sebagian besar pasien dengan aktivitas
tiopurin-S-metil-transferase (TPMT) normal (lihat bawah) diterapi dengan 6-MP,1
- 1,5 mg/kg/hari, atau azatioprin, 2-2,5 mg/kg/hari. Setelah 3-6 bulan
pengobatan, 50-60% pasien dengan penyakit aktif berhasil memperoleh remisi.
Obat-obat ini membantu untuk tetap mempertahankan remisi pada hampir 80%
pasien. Pada para pasien yang bergantung pada terapi glukokortikoid
jangka-panjang untuk mengatasi penyakit aktif, analog purin umumnya
memungkinkan pengurangan dosis atau steroid penghentian.
Efek Samping
Toksisitas terkait-dosis azatioprin atau 6-MP mencakup mual,
muntah, depresi sumsum tulang (menyebabkan leukopenia, makrositosis, anemia,
atau trombositopenia), dan toksisitas hati. Pemantauan laboratorium rutin
dengan hitung darah lengkap dan uji fungsi hati diharuskan pada Semua pasien.
Leukopenia atau peningkatan kimia hati biasanya berespons terhadap penurunan
dosis Obat. Leukopenia berat akan mempermudah pasien mendapatkan infeksi
oportunistik; leukopenia mungkin berespons terhadap pemberian granulocyte
stimulating factor. Katabolisme 6-MP oleh TMPT rendah pada 11% dan tidak ada pada
0,3% populasi, menyebabkan meningkatnya produksi metabolit 6-tioguanin aktif
dan meningkatnya risiko depresi sumsum tulang. Kadar TMPT dapat diukur sebelum
memulai terapi. Kedua obat ini jangan diberikan kepada pasien yang tidak
memiliki aktivitas TMPT dan perlu dimulai dari dosis yang lebih rendah pada
pasien dengan aktivitas sedang. Reaksi hipersensitivitas terhadap azatioprin
atau 6-MP terjadi pada 5% pasien. Reaksi ini berupa demam, ruam, pankreatitis,
diare, dan hepatitis.
Seperti pasien transplantasi yang mendapat terapi jangka-panjang
dengan 6-MP atau azattioprin, tampaknya terjadi peningkatan risiko limfoma pada
pasien imflammatory bowel disease. Kedua obat ini menembus plasenta; namun,
banyak laporan tentang keberhasilan kehamilan pada wanita yang mendapatkan
kedua obat ini dan risiko teratigenesitas tamaknya rendah.
Interaksi Obat
Alopurinol sangat mengurangi katabolisme analog purin oleh xantin
oksidase dan berpotensi meningkalkan nukleotida 6-tioguanin aktif yang dapat
menyebabkan leukopenia bera. Alopurinol jangan diberikan kepada pasien yang
mendapat 6-MP atau antioprin kecuali pada situasi yang dipantau secara ketat.
4)
METOTREKSAT
Farmakokinetika & Farmakodinamika
Metotreksat adalah antimetabolit lain yang bermanfaat pada
sejumlah penyakit peradangan kronik, mencakup penyakil Crohn dan artritis
rematoid serta kanker. Metotreksat dapat diberikan per oral, secara subkutis,
atau secara intramuskulus. Bioavailabililas oral yang pernah dilaporkan adalah
50-90% pada dosis yang digunakan untuk penyakit peradangan kronik. Metotreksat
intramuskulus dan subkutis memperlihatkan Bioavailabilitas yang nyaris
sempurna.
Mekanisme kerja yang utama adalah menghambat dihidrofolat
reduktase, suatu enzim yang penting dalam produksi timidin dan purin. Pada
dosis tinggi yang digunakan untuk kemoterapi, metotreksat menghambat
proliferasi sel. Namun, pada dosis rendah yang digunakan untuk mengobati
inflammatory bowel disease ( 12-25 mg/minggu), efek antiproliferasinya mungkin
tidak terlihat. Metotreksat dapat memengaruhi efek inflamasi interleukin-1.
Obat ini juga mungkin merangsang peningkatan pelepasan adenosin, suatu autakoid
anti-inflamasi endogen. Metotreksat juga dapat merangsang apoptosis dan
kematian T limfosit aktif.
Pemakaian Klinis
Metotreksat digunakan untuk mencapai dan mempertahankan remisi
pada pasien dengan penyakit Crohn. Efikasinya pada kolitis ulseratif masih
belum jelas. Untuk menginduksi remisi, pasien diterapi dengan 15—25 mg
metotreksat sekali seminggu dengan injeksi subkutis. Jika tercapai respons yang
memuaskan dalam 8-12 minggu maka dosisnya dikurangi menjadi 15 mg/minggu.
Efek Samping
Pada dosis tinggi, metotreksat dapat menyebabkan depresi sumsum
tulang, anemia megaloblastik, alopesia, dan ,mukositis. Pada dosis yang
digunakan untuk mengobati inflammatory bowel disease, penyulit-penyulit ini
jarang, tetapi jika memang timbul, dosisnya perlu dikurangi. Suplementasi folat
mengurangi risiko kejadian-kejadian tersebut tanpa mengganggu efek
anti-inflamasi Obat.
Pada pasien dengan psoriasis yang diterapi dengan metotreksat,
sering terjadi kerusakan hati; namun, pada pasien dengan inflammatory bowel
disease dan artritis rematoid, risiko ini lebih rendah secara bermakna.
Insufisiensi ginjal dapat meningkatkan risiko akumulasi dan toksisitas hati.
5)
TERAPI ANTI-FAKTOR NEKROSIS TUMOR
Farmakokinetika & Farmakodinamika
Pada inflammatory bowel disease, terutama penyakit Crohn, Terjadi
disregulasi respons sel T penolong tipe 1 (TH1) dan sel T regulatorik (Tregs).
Salah satu sitokin proinflamasi kunci pada inflammatory bowel disease adalah
faktor nekrosis tumor (tumor necrosis factor, TNF). TNF dihasilkan oleh sistem
imun bawaan (mis. sel dendritik, makrofag), sistem imun adaptif (khususnya sel
TH 1), dan sel non-imun (fibroblas, sel otot TNF terdapat dalam dua bentuk yang
secara biologis aktif: TNF larut dan TNF lekat-membran. Aktivitas biologik TNF
larut dan yang melekat ke membran diperantarai melalui pengikatan ke reseptor
TNF (TNFR) yang terdapat di sebagian sel (khususnya sel THI, sel imun bawaan,
dan fibroblas). Pengikatan TNF ke TNFR pada awalnya mengaktifkan
komponen-komponen yang mencakup NF-KB yang merangsang transkripsi, pertumbuhan,
dan ekspansi. Efek biologik yang dikaitkan dengan pengaktifan TNFR mencakup
pelepasan berbagai sitokin proinflamasi dari makrofag, pengaktifan dan
proliferasi sel T, produksi kolagen oleh fibroblas, peningkatan ekspresi
molekul perekat endotel yang berperan dalam migrasi leukosit, dan stimulasi
berbagai reaktan fase akut hati. Pengaktifan TNFR kemudian dapat menyebabkan
apoptosis (kematian sel terprogram) sel-sel yang telah mengalami aktivasi.
Tiga antibodi monoklonal terhadap TNF manusia telah disetujui
untuk pengobatan inflammatory bowel disease: infliksimab, adalimumab, dan
sertolizumab. Infliksimab dan adalimumab adalah antibodi subkelas IgG1,
Sertolizumab adalah antibodi rekombinan yang mengandung suatu fragmen Fab yang
dikonjugasikan ke polietilen glikol (PEG), tetapi tidak memiliki fragmen Fc.
Bagian Fab infliksimab dan sertolizumab adalah antibodi chimeric
manusia-mencit, tetapi adalimumab adalah anti-bodi yang telah seutuhnya berasal
dari manusia, Infliksimab diberikan sebagai infus intravena. Pada dosis
terapeutik 5-10 mg/kg, waktu-paruh infliksimab adalah sekitar 8-10 hari,
menyebabkan antibodi hilang dari plasma dalam waktu 8-12 minggu. Adalimumab dan
sertolizumab diberikan secara subkutis. waktu-paruh keduanya adalah sekitar 2
minggu.
Ketiga agen tersebut berikatan dengan suatu TNF terikat membran
dan TNF terlarut dengan afinitas yang tinggi sehingga mencegah sitokin untuk
berikatan dengan reseptornya. Pengikatan ketiga antibodi terhadap TNF-terikat
membran juga menyebabkan pembalikan sinyal yang menekan pelepasan sitokin.
Ketika infliksimab atau adalimumab terikat pada TNF-terikat membran, bagian FC
dari regio IgG manusia mencetuskan apoptosis yang diperantarai oleh antibodi,
aktivasi komplemen, dan sitotoksisitas seluler limfosit T yang teraktivasi dan
makrofag. Certoluzimab, tanpa bagian Fc,
tidak memiliki sifat ini.
Pemakaian Klinis
Ketiga Obat telah disetujui untuk terapi akut dan kronik pasien
dengan penyakit Crohn sedang sampai berat yang kurang berespons terhadap terapi
konvensional. Infliksimab juga telah disetujui untuk pengobatan akut dan kronik
kolitis ulseratif sedang sampai berat. Dengan terapi induksi, ketiga Obat
menghasilkan perbaikan gejala pada 60% dan remisi penyakit pada 30% pasien
dengan penyakit Crohn sedang sampai berat, mencakup pasien yang dependen-
glukokortikoid atau yang tidak berespons terhadap 6-MP atau metotreksat. Waktu
median untuk respons klinis adalah 2 minggu. Terapi induksi umumnya diberikan
sebagai berikut: infliksimab 5 mg/kg infus intravena pada 0, 2, dan 6 minggu;
adalimumab 160 mg (dalam dosis terbagi) pada awalnya dan 80 mg injeksi subkutis
pada 0, 2, dan 4 minggu. Pasien yang berespons dapat diberi terapi pemeliharaan
jangka-panjang. Sebagai berikut: infliksimab 5 mg/kg infus intravena setiap 2
minggu, sertolizumab 400 mg injeksi subkutis setiap 4 minggu. Pada terapi
jangka-panjang dengan jadwal teratur, respons klinis dapat dipertahankan pada
lebih dari 60% pasien dan remisi penyakit 40%. Namun, sepertiga pasien akhirnya
kehilangan respons meskipun penyuntikan dilakukan lebih sering atau dengan
dosis tinggi. Berkurangnya respons pada banyak pasien mungkin disebabkan oleh
terbentuknya antibodi terhadap antibodi TNF atau oleh mekanisme lain.
Infliksimab disetujui sebagai pengobatan pasien kolitis ulseratif
sedang sampai berat yang memberikan respons tidak adekuat terhadap mesalamin
atau kortikosteroid. Setelah terapi induksi dengan dosis 5-10 mg/minggu pada
minggu 0, 2, dan 6,70% pasien mendapatkan respons klinis dan sepertiga mencapai
remisi klinis. Dengan infus pemeliharaan Iqontinu setiap 8 minggu, sekitar 50%
pasien mendapatkan respons klinis berkepanjangan.
Efek Samping
Efek samping serius terjadi pada hingga 6% pasien dengan terapi
anti-TNF, Efek samping terpenting obat-obat ini adalah injeksi karena supresi
respons peradangan TH1, Hal ini dapat menimbulkan infeksi serius, misalnya
sepsis bakteri, tuberkulosis, inieksi jamur invasif, reaktivasi hepatitis B,
listeriosis, dan infeksi oportunistik lain. Reaktivasi tuberkulosis laten,
dengan disenlinasi, pernah terjadi. Sebelum diberikan terapi anti-TNF, semua
pasien perlu menjalani uji kulit tuberkulin atau pemeriksaan interferon gamma
release assay. Terapi profilaktik untuk tuberkulosis dianjurkan bagi pasien
dengan hasil uji positif sebelum terapi anti-TNF dilnulai. Infeksi yang lebih
sering, tetapi biasanya kurang serius adalah infeksi saluran napas atas
(sinusitis, bronkitis, dan pneumonia) dan selulitis. Risiko infeksi serius
meningkat nyata pada pasien yang juga mendapat kortikosteroid.
Dapat terbentuk antibodi terhadap antibodi (ATA) pada ketiga Obat.
Antibodi ini mungkin memperlemah atau menghilangkan respons klinis serta
meningkatkan kemungkinan reaksi injeksi atau infus tipe akut atau lambat.
Kemungkinan pembentukan antibodi meningkat pada pasien yang diberi terapi
anti-TNF secara episodik dibandingkan yang diberi penyuntikan terjadwal teratur.
Pada pasien yang mendapat terapi jangka-panjang, prevalens ATA dengan
infliksimab adalah 10%, sertolizumab 8%, dan adalimumab 30/0. Pembentukan
antibodi juga lebih mungkin pada pasien yang juga mendapat terapi
imunomodulator (yi. 6-MP atau metotreksat). Terapi bersamaan anti-TNF dan
imunomodulator dapat meningkatkan risiko limfoma.
Infus intravena infliksimab menyebabkan reaksi samping akut pada
hampir 10% pasien tetapi penghentian infus karena reaksi yang parah terjadi
pada kurang dari 2%. Reaksi infus lebih sering pada infus kedua atau berikutnya
daripada infus pertama. Reaksi ringan dini mencakup demam, nyeri kepala, pusing
bergoyang, urtikaria, atau gejala kardiopulmonaris ringan yang berupa nyeri
dada, dispnu, atau instabilitas hemodinamik. Reaksi terhadap infus-infus
berikutnya dapat dikurangi denganpemberian profilaktik asetaminofen,
difenhidramin, atau kortikosteroid. Reaksi akut parah mencakup hipotensi
signifikan, sesak napas, spasme otot, dan rasa tak-nyaman di dada;
reaksi-reaksi ini mungkin memerlukan pengobatan dengan oksigen, epinefrin, dan
kortikosteroid.
Reaksi mirip-serum sickness "tipe lambat dapat timbul 1 -2
minggu setelah terapi anti-TNF pada 1 % pasien. Reaksi ini terdiri dari
mialgia, artralgia, rahang kaku, demam, ruam, urtikaria, dan edema serta
biasanya mengharuskan penghentian Obat. Pada sejumlah kecil pasien terbentuk
antibodi antinukleus dan anti-DNA untai ganda. Meskipun jarang, dapat terjadi
sindrom mirip-lupus yang mereda setelah Obat dihentikan. Efek samping yang
jarang, tetapi serius pada pemberian semua anti-TNF juga mencakup reaksi hati
berat yang menyebabkan gagal hati akut, gangguan demielinisasi, reaksi
hematologik, dan timbul atau bertambah parahnya gagal jantung kongestif pada
pasien yang memang mengidap sakit jantung. Obat anti-TNF dapat menyebabkan
berbagai ruam kulit psoriatik yang biasanya mereda setelah Obat dihentikan.
Limfoma tampaknya meningkat pada pasien inflammatory bowel disease
yang tidak diobati. Obat anti-TNF dapat semakin meningkatkan risiko limfoma
pada populasi ini meskipun risiko relatifnya belum diketahui pasti. Dijumpai
peningkatan kasus limfoma sel T hepatosplenik, suatu penyakit yang jarang,
tetapi mematikan, pada anak dan dewasa muda, yang hampir semuanya pernah
mendapat terapi kombinasi dengan imunomodulator, Obat anti-TNF, dan
kortikosteroid.
6)
TERAPI ANTI-INTEGRIN
Integrin adalah suatu famili molekul perekat di permukaan leukosit
yang dapat berinteraksi dengan golongan lain molekul perekat di permukaan
endotel vaskular yang dikenal sebagai selektin, sehingga leukosit di dalam darah
melekat ke endotel vaskular dan kemudian menembus dinding pembuluh untuk masuk
ke dalam jaringan. Integrin terdiri dari heterodimer yang mengandung dua
subunit, alfa dan beta. Natalizumab adalah suatu antibodi monoklonal IgG4 humanized terhadap subunit alfa 4, dan
karenanya menghambat beberapa integrin di sel radang untuk melekat ke molekul
perekat endotel dan mencegah migrasi sel-sel tersebut ke jaringan sekitar.
Natalizumab terbukti memiliki efikasi signifikan pada sebagian
pasien dengan penyakit Crohn sedang sampai berat. Sayangnya, dalam uji-uji
klinis awal pasien dengan penyakit Crohn dan sklerosis multipel, 3 dari 3100
pasien yang diterapi natalizumab mengalami leukoensefalopati multifokal progresif akibat reaktivasi poliomavirus
manusia (virus JC), yang terdapat dalam bentuk laten pada lebih dari 80% orang
dewasa. Ketiga pasien ini sedang mendapat terapi dengan imunomodulator. Setelah
penarikan sukarela dan pengkajian Obat ini oleh produsennya pada tahun 2005. Obat
ini disetujui oleh FDA pada tahun 2008 untuk pasien dengan penyakit Crohn
sedang sampai parah yang tidak berespons terhadap pengobatan lain melalui suatu
program yang diawasi secara ketat. Dosis yang disetujui adalah 300 mg setiap 4
minggu melalui infus intravena dan pasien tidak boleh mendapat Obat
imunosupresan lain. Sekitar 50% pasien berespons terhadap terapi awal dengan
natalizumab. Dari pasien yang berespons awal tersebut, respons jangka-panjang
dipertahankan pada 60% dan remisi pada lebih dari 40%. Efek samping lain
mencakup reaksi infus akut dan peningkatan kecil risiko infeksi oportunistik.
6. IRITABLE BOWEL SYNDROME
IBS adalah suatu
penyakit kronitik idiopatik kambukan yang ditandai oleh rasa tidak enak di
perut (nyeri, kembung, disentri atau kram) disertai perubahan pada kebiasaan
buang air besar (diare konstipasi, atau keduanya). Seiring dengan
serangan-serangan nyeri atau rasa tak enak di abdomen, pasien mengalami
perubahan pada frekuensi atau konstifasi buang air besar mereka.
Terapi farmakologik IBS
diarahkan unuk meredakan nyeri dan rasa tak enak abdomen serta memperbaiki
buang air besar. Bagi pasien dengan predominan diare, obat anridiare, khususnya
loperamid, berguna untk mengurangi frekuensi dan keinginan untuk buang air
besar. Bagi pasien yang gejala utamanya
adalah konstipasi, suplemen serat mungkin dapat melunakan tinja, dan mengurangi
mengenjan namun meningkatkan produksi gas dapat menyebabkan perut terasa
kembung dan tidak nyaman. Karena itu pencahar osmotik, khususnya milk of magnesia,
sering digunakan untuk melunakan tinja dan meningkatkan frekuensi buang air
besar.
Untuk nyeri abdomen
kronik, antidepresan trisiklik dosis rendah (mis., amitriptin atau desipramin,
10-50 mg/hari) tampaknya membantu. Pada dosis ini, obat obat ini tidak berefek
pada suasana hati tetapi memungkinkan mempengaruhi pemroseskan informasi aferen
viseral di susunan saraf pusat. Sifat anti kolinergik obat obat ini juga
mungkin berefek pada mobilitas dan sekresi gastrontesial, mengurangi frekuensi
dan likuiditas buang air besar. Pada akhirnya, anti depresan trisiklik mungkin
mempengaruhi reseptor untuk neurotransmiler enterik misalnya serotonin, yang
berefek pada sensasi aferen viseral. Tersedia berberapa obat lain yang tersedia
untuk IBS.
1)
ANTISPASMODIK
(ANTIKOLINERGIK)
Berberapa
obat dipromosikan sebagai penghilang rasa nyeri atau rasa tak enak di abdomen
melalui efek anti spasmodik. Namun, spasme usus halus atau usus besar belum
terbukti penting dalam kausa gejala pasien dengan IBS. Obat antispasmodik
bekerja terutama melalui aktivitas antikolinergik. Obat golongan ini yang
sering digunakan adalah disiklomin dan hiosiamin. Kedua obat ini menghambar
reseptor kolinergik muskarinin di pleksusenterik dan pada otot polos. Efikasi
antispasmodik untuk meredakan gejala abdomen belum pernah dibuktikan secara
menakinkan. Pada dosis rendah, obat obat ini memiliki efek autonom minimal.
Namun, pada dosis yang lebih tinggi, obat ini memperlihatkan efek
antikolinergik tambahan yang signifikan, mencakup mulut kering gangguan penglihatan,
retensi urin, dan konstipasi. Oleh sebab itu, antispasmodik jarang digunakan.
2)
ANAGINOS
RESEPTOR SEROTONIN
Reseptor
5-HT3 di saluran cerna mengaktifkan sensasi nyeri aferen viseral
melalui neuron neuron sensorik intristik dari usus ke korda spinalis dan
susunan sarap pusat inhibisi reseptor 5-HT3 aferen disaluran cerna
mungkin mengurangi rasa tak nyaman viseral, mencakup muntah nyeri dan kembung.
Blokade reseptor 5-HT3 sentral juga mengurangi respons sentral
terhadap stimulasi aferen viseral. Selain itu, blokade reseptor 5-HT3
di ujung-ujung neuron kolinergik usus menghambat moilitas kolon,khususnya kolon
kiri sehingga waktu total transit di kolon meningkat.
Alosetron
adalah antagonis 5-HT3
yang telah di setujui penggunaanya dalam pengobatan pasien IBS berat dengan diare. Empat antagonis 5-HT3
lainnya (ondansetron, granisetron, dolasetron, dan palonosetron) telah
disetujui untuk rnencegah dan mengobati mual danmuntah (lihat Antiemetik);
namun, efikasi mereka dalampengobatan lBS belum diketahui pasti. Perbedaan
antara berbagai antagonis 5-HT3 yang menentukan efek farmakodinamik
mereka belum dipelajari secara mendalam.
Farmakokinetika &
Farmakodinamika
Alosetron
adalah antagonis reseptor 5-HT3 yang sangat poten dan selektif. Obat
ini cepat diserap dan saluran cerna dengan bioavailibilitas 50—60% dan memiliki
waktu-paruh plasma 1,5 jam tetapi durasi efeknya jauh lebih lama. Obat ini
mengalami metabolisme ekstensif oleh sitokrom P450 hati dengan ekskresi
sebagian besar metabolit oleh ginjal. Alosetron berikatan dengan afinitas lebih
kuat dan terlepas lebih lambat dan reseptor 5-HT3 daripada antagonis
5-HT3 lainnya, yang mungkin berperan dalam masa kerja obat ini yang
lama.
Pemakaian Klinis
Aldosteron
telah disetujui untuk mengobati wanita dengan lBS berat yang gejala utamanya
adalah diare (“IBS predominan-diare”). Efìkasinya pada pria belum dìketahui
pasti. dalam dosis 1 mg sekali atau dua kali sehati, obat ini mengurangi nyeri
abdomen bawah, kram, “kebelet”, dan diare terkait- IBS. Sekitar 50-60% pasien
melaporkan redanya nyeri dan rasa tak nyaman secara adekuat dengan alosetron
dibandingkan dengan 30- 40% pasien yang diobati plasebo. Obat ini juga
menyehabkan berkurangnya jumlah rerata buang air besar per hari dan perbaikan
konsistensi tinja. Alosetron belum pernah diteliti untuk pengobatan diareakibat
kausa lain.
Efek Samping
Berbeda
dan profil keamanan yang baik dan antagonis reseptor 5- HT3 lainnya, alosctron
dilaporkan menyebahkan toksisitas gastrontestinal yang jarang, tetapi serius.
Konstipasi terjadi pada hingga 30% pasien dengan IBS predominan diare yang
memerlukan penghentian obat pada 10%. Penyulit serius konstifasi yang memerlukan
rawat-inap atau pembedahan terjadi pada 1 dari 1000 pasien. Serangan kolitis
iskemik-sebagian mematikan-pernah dilaporkan pada hingga 3 per 1000 pasien.
Karena keseriusan efek samping, alosteron dibatasi untuk wanita dengan IBS
predominan diare berat yang tidak berespon terhadap terapi konvensional dan
yang telah diberi tahu mengenai resiko relatif dan manfaatnya.
Interaksi Obat
Meskipun
dimetabolisme oleh sejumlah enzirn CYP, alosteron tampaknya tidak
memperlihatkan interaksi signifikan dengan obat lain.
3) antagonis
RESEPTOR SEROTONIN 5-HT4
Farmakologi
tegaserod telah dibahas di bawah Pencahar. Obat ini telah disetujui untuk
pengobatan jangka-pendek wanita dengan IBS yang gejala utamanya adalah
konstipasi. Studi -studi terkontrol memperlihatkan perbaikan ringan (sekitar
15%) dalam kepuasan global pasien dan penurunan keparahan nyeri dan kembung
pada pasien yang diterapi dengan tegaserod, 6 mg dua kali sehari, dibandingkan
dengan piasebo. karenameningkatnya kematian kardio vaskular yang diamati pada
studi-studi pasca-pemasaran pasien yang mendapat tegaserod, obat ini kemudian
ditarik sendiri dari pasaran.
4) AKTIVATOR SALURAN
KLORIDA
Seperti
telah dibahas, lubiproston adalah suatu turunan asam prostat yang merangsang
saluran klorida tipe 2 (ClC-2) di usus halus dan digunakan dalam pengobatan
konstipasi kronik. Lubiproston baru baru ini disetujui untuk mengobati wanita
dengan IBS predominan konstipasi. Efikasinya pada pria dengan IBS belum
terbukti. Dosis yang disetujui untuk IBS adalah 8 mcg dua kali sehari
(dibandingkan dengan 24 mcg dua kali sehari untuk konstipasi kronik).
Lubiproston belum pernah dibandingkan dengan pencahar lain yang lebih murah
(mis., milk of magnesia). Lubiproston tercantum sebagai kategori C untuk
kehamilan serta seharusnya dihindari pada wanita usia subur.
obat untuk irritable bowel syndrome (ibs)
1.
Alosetron
Oral
tablet 0,5 dan 1 mg
Mekanisme
kerja : Antagonis 5-HT3 berpotensi
tinggi dan memiliki lama kerja panjang
Efek : Mengurangi
aktivitas otot polos
Pemakaian
Klinis : Disetujui untuk IBS
predominan diare wanita
Farmakokinetika,
Toksisitas, Interaksi :
a. Konstipati
jarang, tetapi serius
b. Kolitis
iskemik
c. Infrak
2.
Lubiprostone
Dosis umum
dewasa untuk Irritable Bowel Syndrome
Oral: 8 mcg
diminum dua kali sehari dengan makanan dan minuman.
Efek samping
dari Amitiza 8 µg 2 kali sehari pada IBS-C yaitu mual, diare, pusing, dan nyeri
abdominal.
Kontraindikasi
Lubiproston
memiliki kontraindikasi pada pasien yang mengalami diare kronis,
gangguan usus besar, atau diare-predominant sindrom iritasi usus besar.
Mekanisme
Lubiproston
merupakan asam lemak bisiklik berasal dari prostaglandin E1 atau
metabolit prostaglandin E1 (PGE1) yang bekerja secara spesifik
mengaktivasi CLC-2 yang berlokasi di sel epitelia pada saluran
gastrointestinal, meningkatkan transport Cl–di lumen dan menguatkan
sekresi cairan intestinal. Sekresi ini melunakkan stool, stimulan
motilitas intestinal, dan menaikkan perpindahan usus besar secara spontan
3. Tegasterod
Oral :
tablet 2mg dan 6 mg
Mekanisme
kerja
Suatu
antagonis parsial serotonin5-HT4 yang memiliki afinitas tinggi
tehadap reseptor 5-HT4 tetapi hampir tidak mengikat reseptor 5-HT3
atau dopamin.
Indikasi
Penurunan
keparahan nyeri dan kembung pada pasien
Efek samping
Meningkatkan
penyulit kardiovaskular yang serius.
4. Disikomin
Oral :
tablet 1 mg dan 2 mg
Parenteral :
10mg/mL untuk injeksi.
Mekanisme
kerja : Menghambar reseptor kolinergik muskarinin di pleksusenterik dan pada
otot polos.
Indikasi
: Meredakan gejala abdomen belum pernah dibuktikan secara menakinkan.
Efek
samping : Pada dosis rendah, obat obat ini memiliki efek autonom minimal.
Namun, pada dosis yang lebih tinggi, obat ini memperlihatkan efek
antikolinergik tambahan yang signifikan, mencakup mulut kering gangguan
penglihatan, retensi urin, dan konstipasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sistem
pencernaan (bahasa Inggris:
digestive system) adalah sistem organ
dalam hewan
multisel yang menerima makanan,
mencernanya menjadi energi
dan nutrien, serta mengeluarkan sisa proses tersebut melalui dubur. Sistem
pencernaan antara satu hewan dengan yang lainnya bisa sangat jauh berbeda.
Organ sistem pencernaan terdiri
atas :
1. Saluran
cerna, disebut juga saluran gastrointestinal (GI), merupakan saluran panjang
yang dilalui makanan/minuman dan terdiri atas mulut, faring, esofagus, usus
halus, lambug, usus besar, rektum, serta saluran anus.
2. Kelenjar
aksesori yang merupakan kelenjar yang melapisi organ yang terdiri atas 3 pasang
kelenjar ludah, pankreas, hati, dan saluran empedu.
Adapun
gangguan pada sistem pencernaan seperti gastritis, hepatitis, diare, konstipasi, apendiksitis, maag, dll. Masalah pencernaan dari kategori ringan hingga berat harus segera diatasi
jika tidak akan dapat memperburuk keadaan. Salah satu cara untuk mengatasi sistem pencernaan adalah dengan
mengkonsumsi obat, yang termasuk dalam kategori obat sistem pencernaan
diantaranya Antasida, H2 reseptor antagonis, Antiemetik, Antikolinergik,
Hepatoprotektor, Antibiotik, Proton pompa inhibitor, Prokinetik, Antidiare,
Laksatif.
B. Saran
Untuk pembaca
diharapkan dapat memahami penanganan mengenai gangguan saluran pencernaan serta lebih
mengetahui berbagai macam golongan obat yang efektif untuk mengobati gangguan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Biomed, Syamsudin. 2015. Farmakoterapi
Gangguan Saluran Pencernaan. Jakarta : EGC.
Karch, Amy M. 2011. Buku Ajar Farmakologi
Keperawatan Edisi 2. Jakarta : EGC.
Katzung, Bertram G., Susan B. Masters, Anthony
J. Trevor. 2014. Farmakologi Dasar & Klinik Edisi 12. Jakarta : EGC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar